Beberapa waktu yang lalu muncul fenomena yang sungguh menyita perhatian yaitu banyaknya kaum wanita yang disebut emak-emak yang mendukung dengan gencar pasangan calon presiden RI pada pilpres 2019. Dahulu emak-emak masih belum begitu antusias dan tertarik dengan dunia politik di Indonesia.
Namun seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi menjadikan generasi emak-emak sangat mudah mengakses berbagai informasi yang berkaitan dengan politik. Hal inilah yang menjadikan munculnya fenomena emak-emak yang melek politik di zaman milenial ini.
Munculnya generasi emak-emak yang melek politik ternyata sempat mencuat ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Terdapat kubu emak-emak yang mendukung masing-masing pasangan calon presiden. Bahkan dukungan emak-emak tersebut justru berujung peristiwa tragis yang memprihatinkan beberapa waktu lalu.
Bekaitan dengan fenomena emak-emak yang melek politik tersebut maka pengamat politik Universitas Al-Azhar yaitu Ujang Komarudin memberikan tanggapan terkait fenomena emak-emak yang semakin tanggap terhadap politik di Indonesia.
Beliau menambahkan bahwa emak-emak begitu efektif dalam menggalang dukungan pemilu. Hal ini menjadikan kedua kubu memakai emak-emak sebagai senjata saat berkampanye. Hal tersebut berkaitan dengan emak-emak yang dinilai sebagai magnet tersendiri sehingga oleh kedua paslon presiden menggunakan emak-emak sebagai media kampanye.
Dalam konteks psikologi masyarakat Indonesia, emak-emak mempunyai jaringan sosial yang kuat. Hal ini tumbuh akibat dari kebiasaan emak-emak di Indonesia yang sering berbincang dengan sesama emak-emak serta mengikuti perkumpulan seperti misalnya pengajian. Emak-emak sebagai ibu rumah tangga mempunyai pengaruh yang kuat untuk menggiring anggota keluarga terutama anak untuk menentukan pilihan. Terlebih biasanya seorang anak cenderung patuh pada ibunya dibandingkan bapaknya di dalam konteks tertentu.
Baca Juga Ini : Pesan untuk Ibu-ibu Enterpreneur : Take Your Time !
Ujang juga menambahkan bahwa emak-emak mempunyai militansi yang bagus dibandingkan laki-laki saat berkampanye. Selain itu emak-emak juga cenderung loyal terhadap pilihannya. Sedangkan untuk relawan laki-laki cenderung bermain dengan dua kaki karena lebih mengedepankan keuntungan. Hal inilah yang menjadikan emak-emak menjadi amunisi dalam berkampanye.
Meskipun emak-emak efektif untuk menggalang dukungan, tetapi sebaiknya harus diberikan materi kampanye yang positif pada emak-emak. Bila konten negatif yang diutamakan maka akan menimbulkan rusaknya dinamika politik di Indonesia.
Dipilihnya emak-emak sebagai pendukung kubu paslon juga berkaitan dengan sisi emosional dibandingkan rasional. Namun hal itu justru sempat menjadi permainan isu yang bersinggungan dengan kaum wanita oleh salah satu kubu paslon. Jumlah pemilih kaum wanita yang lebih banyak dari kaum laki-laki juga menjadi magnet tersendiri dalam pemilu.
Melihat betapa besarnya pengaruh emak-emak terhadap politik di Indonesia memang seharusnya emak-emak tersebut harus memiliki pemahaman yang benar tentang politik. Jangan sampai emak-emak hanya mengedepankan emosional saja dalam berpolitik yang akhirnya mudah berujung para provokasi. Dengan demikian emak-emak tidak hanya sebatas istilah emak-emak saja tetapi sebagai kaum yang mampu mencetak generasi bangsa yang cerdas serta ikut membangun dan memajukan negara di zaman yang serba modern seperti saat ini.